Emmy Suparka, Profesor Geologi Perempuan Pertama Indonesia
“Sekarang ilmu geologi
berkembang sangat pesat, mulai dari analisis inderaja, pemodelan, hingga
simulasi komputer. Tetapi menurut saya setiap mahasiswa geologi harus
mengetahui ilmu dasar geologi; dan itu, selain dipelajari di bangku
kuliah, juga diperoleh di lapangan.”
Pernyataan tersebut disampaikan
oleh Profesor Dr. Ir. Emmy Suparka seorang pakar geologi yang mendapat
anugrah profesornya tahun 2001. Beliau merupakan profesor perempuan
geologi pertama di Indonesia, sekaligus profesor perempuan pertama
bidang teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Antara tahun 1960 -1970an,
ketika bidang geologi mulai berkembang di Indonesia dan masih didominasi
oleh kaum laki-laki, Emmy, perempuan kelahiran Denpasar, Bali, 17 April
1948 itu memantapkan dirinya memilih Jurusan Geologi yang justru tidak
diminati kaumnya. Setamatnya dari sekolah menengah di Yogyakarta, ia
tertarik memilih Jurusan Geologi karena beberapa hal. Antara lain karena
ahli geologi dinilainya masih kurang di Indonesia, terutama perempuan
yang masih bisa dihitung dengan sebelah jari. Selain itu,
ketertarikannya pada Geologi karena ada nuansa yang menantang dengan
ilmu Geologi. Apa itu Geologi? Seperti kebanyakan ketertarikan awal
pemilihan Jurusan Geologi, Emmy pun berharap jika kuliah di Geologi, ia
dapat meneruskan kesenangannya terhadap traveling, bepergian melihat hal
yang baru, melihat alam dan banyak hal.
Dalam wawancara kami, tiba-tiba
Emmy tertawa dan ia berujar, “ada hal yang tidak bisa saya lupakan
ketika mengikuti testing masuk ITB Jurusan Geologi, tahun 1965. Ketika
saya mau memasuki ruangan tempat ujian, saya dicegat oleh pengawas dan
mengatakan ini untuk Jurusan Geologi. Mbak salah ruangan, kata pengawas.
Saya yakinkan bahwa saya tidak salah ruangan dengan memperlihatkan
kartu ujian.” Ini gambaran betapa tidak populernya Jurusan Geologi di
kalangan perempuan pada saat itu. “Tahun 1965 hanya ada dua mahasiswi
yang masuk di Jurusan Geologi ITB, yaitu saya, dan Eti Nuay yang
merupakan perwakilan dari daerah,” lanjutnya mengenang masa awal kuliah.
Menurut Emmy, ada kesenjangan
informasi yang sampai kepada masyarakat tentang geologi. Pada umumnya
masyarakat memahami bahwa geologi adalah ilmu yang berkaitan dengan
gunung dan hutan. Padahal tidak demikian. Itulah sebabnya para orang tua
kurang merespon keinginan putera-puterinya untuk mengambil jurusan ini.
Sekarang sudah memadai, informasi tentang Geologi sudah diterima oleh
masyarakat sebagaimana adanya.
Seiring berlalunya waktu, tiba
saatnya memilih spesialisasi. Emmy semula tertarik dengan fosil. Jazad
renik itu bisa membawa kepada khayalan ribuan bahkan jutaan tahun silam.
Tetapi di bawah mikroskop, rupanya menurut Emmy, fosil itu
dibolak-balik bentuknya sama saja tidak berubah. Hal itu berbeda dengan
melihat sayatan batuan di bawah lensa mikroskop. Berubah posisi lensa,
berbagai bentuk dan warna muncul dan tentu menghasilkan berbagai
imajinasi dan interpretasi. Bagi Emmy hal ini menarik dan menantang.
Akhirnya Emmy memilih petrologi sebagai spesialisasinya. Sekali lagi
anak kedua dari delapan bersaudara ini membuat teman-temannya bergumam,
“Emmy memilih hard rock?” ujar mereka tidak percaya.
Made Emmy Relawati, nama
gadisnya, adalah anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Putu
Badjre Kusumaharta (alm) dan Nyoman Resike. Ketika usia Emmy sepuluh
tahun, mereka pindah dari Denpasar ke Yogyakarta. Ia kemudian
menyelesaikan sekolah dasarnya di SD Bopkri pada 1959, lulus tingkat
SLTP di SMP Negeri II pada 1962, serta tingkat SLTA di SMA Stella Duce
pada 1965, seluruhnya di Yogyakarta. Ayahnya seorang wiraswasta yang
berhasil dan memberikan kebebasan serta kepercayaan penuh kepada
putera-puterinya untuk memilih masa depannya. Dari delapan bersaudara
hanya Emmy yang menjadi pegawai negeri, lainnya mengikuti jejak ayahnya
sebagai pengusaha.
Sebagai mahasiswi di sarang
mahasiswa tidak membuat Emmy dan Eti merasa jengah atau risi. Karena
mereka minoritas, dua mahasiswi ini selalu mendapatkan perlindungan dan
prioritas dari rekan-rekannya para mahasiswa, bahkan dosen. Setiap ada
event penting mengenai geologi, mereka selalu diajak ikut serta dan itu
menambah pengalaman di lapangan.
Ada dua peristiwa penting yang
tidak dapat dilupakan oleh Emmy. “Pertama, saat saya keluar dari ruangan
sidang ujian sarjana, saya tiba-tiba diserang rasa haru dan terdiam di
depan pintu. Betapa beban berat yang saya lalui selama ini telah lepas.
Tuhan, terima kasih, ucap saya dalam hati. Teman-teman ikut diam dan
menyangka saya tidak lulus. Saat salah seorang dosen penguji keluar
mengucapkan selamat, saya lulus dengan predikat terbaik (cum laude),
teman-teman saya baru bergembira.”
“Kedua, ketika kalimat terakhir
dari disertasi saya selesaikan. Saya merasa sangat terharu, betapa
perjuangan panjang ini sudah saya lalui dengan baik.” Ada genangan air
yang tidak tumpah di pelupuk mata Emmy mengenang masa indah itu. Emmy
menyelesaikan sarjana Geologi dari ITB tahun 1973 dan program doktor
sandwich di Laboratoire de Geochime et Cosmochimie, di Universite de
Paris IV, Prancis pada tahun 1988.
Selepas sarjana, Emmy memilih
menjadi dosen dengan pertimbangan bahwa dapat mengatur waktu antara
bekerja dan mengurus keluarga. Ia tercatat menjadi dosen di almamaternya
sejak 1976. Dengan menjadi dosen, ilmunya bisa berkembang dan bisa
berbagi ilmu dengan orang lain.
Emmy menikah dengan “kakak
kelasnya” Suparka, sarjana Geologi ITB angkatan 1962 yang sekarang telah
pensiun dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI dengan gelar terakhir
profesor riset. Pada saat kami menanyakan mengapa memilih Pak Suparka
menjadi pendamping hidup, “Sederhana. Pak Suparka memilih saya,”
jawabnya. “Alasan lain, karena Suparka banyak membimbing, bukan hanya
dalam ilmu Geologi, tetapi juga memberi wejangan dan semangat. Hidup
berdampingan dengan orang yang satu profesi memudahkan saya untuk
bekerja. Tidak banyak pertanyaan mengapa dan kenapa karena pasti tahu
apa yang saya kerjakan,” ujarnya lebih lanjut. Mereka dikaruniai seorang
putera yang sekarang menetap di Australia.
Pengalaman pertama kali mengajar
adalah ketika menggantikan Prof. Rubini Soeria-Atmadja (almarhum) di
Universitas Trisakti, Jakarta. Saat masuk kelas para mahasiswa mengira
Emmy adalah sekertaris Pak Rubini dan datang hanya untuk menyampaikan
permintaan maaf karena beliau tidak bisa mengajar. Para mahasiswa yang
pada mulanya mencoba menggoda dengan bersiul dan bersuit, alangkah
kagetnya, ternyata Emmy datang untuk memberikan kuliah menggantikan Pak
Rubini yang berhalangan datang. “Ini pengalaman pertama, dan saya
berhasil melaluinya dengan baik. Mahasiswa hormat apabila kita hormat,”
ucap Emmy.
Berdiri di depan kelas
menghadapi mahasiswa yang rata-rata laki-laki tidak membuat Emmy grogi
atau demam panggung. Boleh jadi karena sejak usia 10 tahun sudah
terbiasa menghadapi publik dengan menari di atas panggung. Demikian
cintanya pada tari Bali, ketika sudah tinggal di Yogyakarta pun setiap
liburan selalu ke Bali untuk latihan menari di Sanggar Naryo. Selain
tari Bali, selama di Yogyakarta ia juga belajar tari Jawa dari Bagong
Kusudiarjo. Di Bandung pun, tari Sunda ia pelajari juga.
Pengalamannya sebagai penari
membawa Emmy tidak saja sebagai ahli geologi perempuan dan profesor
Geologi di Indonesia, tetapi seolah-olah Geologi ikut menari bersamanya.
Salah satu peristiwa penting di antaranya ketika Emmy memberikan kado
istimewa sebagai penghormatan kepada profesor pembimbingnya pada saat
peluncuran buku di Prancis dengan menampilkan tarian Bali. Sejak
penampilan itu, Emmy menjadi dikenal dan dibicarakan oleh banyak
kalangan di lingkungan kampus Universite de Paris IV. Bahkan saat sudah
menjadi anggota senat guru besar di ITB pun, Emmy masih berkesempatan
untuk menari. Penampilannya yang terakhir sebagai penari di depan publik
adalah ketika acara penyerahan gamelan oleh Gubernur Bali kepada Rektor
ITB pada awal tahun 2000an. Rekannya sesama anggota senat guru besar
seolah tidak percaya dengan penampilan yang memukau itu dibawakan oleh
seorang profesor Geologi.
Di beberapa kampus ada
perkumpulan yang bersifat kedaerahan yang digagas oleh mahasiswa. Dalam
acara tertentu mereka menampilkan kesenian daerah, atau sekedar melepas
rindu kampung halaman. Emmy termasuk salah seorang akitivis perkumpulan
mahasiswa Bali Maha Gotra Ganesha, bersama juga antara lain Bapak Jero
Wacik, Menteri ESDM saat ini. Selain di unit kesenian, keaktifannya
sebagai mahasiswa di ITB di antaranya juga adalah menjadi anggota
Mahawarman dan bergabung di EH-8 Radio ITB.
Dosen geologi yang masih aktif
ini dalam usianya yang sudah kepala enam tetap terlihat sangat energik.
Satu hal yang tidak pernah lalai dilakukan adalah jalan pagi. “Setiap
hari saya harus berjalan minimal satu jam,” ujarnya. Selain itu hobi
Emmy adalah membaca dan mengurus tanaman. “Tetapi tanaman yang mudah
cara pengurusannya,” ujarnya.
Saat ditanyakan tentang idola,
Emmy tampak menerawang. “Saya hanya mengidolakan ibu saya. Beliau tidak
hanya mengerti saya, tetapi memberikan senyum ketika saya berhasil dan
memberikan motivasi ketika saya sedang gagal dan gundah. Ibu saya adalah
orang yang sangat istimewa,” katanya mantap. Sekarang ini ibunya
tinggal bersama salah seorang puteranya di Jakarta pada usia 84 tahun
dan masih sehat. “Tapi saya mendapat pelajaran pertama tentang hidup
mandiri dan bertanggung jawab dari ayah saya,” tambahnya kemudian.
Karirnya sebagai pegawai negeri
sudah di ujung jalan, dua tahun lagi Emmy memasuki masa pensiun. Selama
masa baktinya di ITB, Emmy di antaranya pernah menduduki jabatan Ketua
Departemen Teknik Geologi dalam dua kali masa jabatan, yaitu 1992- 1995
dan 1996-1998. Ia kemudian menjadi Kepala Penerbit ITB 1998-2000. Pada
2000-2005, Emmy terpilih menjadi dekan Fakultas Teknologi Mineral (FTM)
untuk selanjutnya ditarik ke rektorat sebagai Wakil Rektor Bidang Riset,
Inovasi, dan Kemitraan merangkap Ketua LPPM ITB dari 2005 hingga 2008.
Saat ini Emmy aktif sebagai ketua Kelompok Keilmuan Geologi selain
sebagai wakil kepala salah satu unit usaha di ITB.
Meskipun dengan segala
kesibukannya, hingga kini masih banyak mahasiswa bimbingannya, terutama
mahasiswa S2. Beberapa di antaranya datang dan memohon agar dibimbing
oleh Emmy. Ketika kami menanyakan kenapa mereka begitu antusias memilih
Ibu, jawabannya singkat, “mereka tidak diperlakukan sebagai mahasiswa
semata, tetapi adalah bagian dari keluarga saya. Jadi mereka saya
targetkan harus berhasil dengan gemilang”.
Tidak sedikit di antara “bekas
mahasiswanya” masih meminta nasehat atau sekedar curhat tentang apa saja
kepada Emmy meskipun mereka sudah berada jauh di tempatnya bekerja.
“Banyak dari anak bimbingan saya yang sudah bekerja di tempat yang jauh,
setiap berkunjung ke Bandung selalu mampir menemui saya, sekedar say
hallo. Ini sangat menyenangkan, ada silaturahim yang sinambung,” ujar bu
Emmy.
Sebagai seorang ilmuwan Emmy
sudah mencapai puncak dengan meraih gelar profesor. Sebagai dosen sudah
pada jenjang anggota senat guru besar dan pernah menjabat Ketua Jurusan
Geologi, ITB. Adakah obsesi yang belum tercapai? Ketika kami menanyakan
hal tersebut, Emmy dengan tegas mengatakan, “saya tidak punya target.
Sebagai hamba Tuhan, saya tidak boleh tinggalkan shalat dan kewajiban
lainnya sebagai seorang ibu rumah tangga dan anggota masyarakat. Sejak
muda saya ingin mengajar. Bahkan ketika saya masih mahasiswi saya pernah
mengajar menari pada anak-anak di RT tempat saya tinggal. Pada
hakekatnya saya ingin mengabdi.”
Pesannya kepada kaum perempuan,
terutama yang memilih menjadi ahli geologi, “jangan pernah berhenti
belajar, harus berperan aktif dan percaya diri. Banyak yang bisa
dilakukan oleh perempuan, bahkan banyak pekerjaan yang menanti karena
perempuan lebih telaten.” Menurutnya, persoalan Geologi di masa depan
selain masalah eksplorasi untuk energi, juga adalah masalah lingkungan
hidup secara umum, dan untuk semua itu, ahli geologi perempuan akan
mempunyai andil yang sangat besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar